Pages

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora



Ya, kali ini gw mau share pengalaman jalan-jalan beberapa hari yang lalu ke Tambora. Dimulai pada tanggal 7 April 2015, gw bersama satu orang teman start dari Kota Mataram menggunakan sepeda motor. Selama hampir 2 jam kamipun tiba di Pelabuhan Kayangan dan membayar tiket masuk kapal ferry sebesar 53.000 perak. Saking seringnya bolak balik Sumbawa-Lombok gw udah gak nikmatin lagi perjalanan di atas kapal ferry, ditambah lagi kondisi fisik dan pikiran yang cukup kelelahan.

Bagaimana tidak, rencana ke Tambora ini udah gw dan teman gw gadang sejak beberapa bulan yang lalu. Kami ingin berpartisipasi, melalui atraksi paramotor dan paralayang. Proposal dan audiensi sudah kami upayakan, bolak balik ke Dinas Pariwisata, awalnya seperti memberi harapan, tapi belakangan, entah mengapa dibatalkan secara sepihak. Ah, tapi pikir kami, ini harus terjadi. Apapun, bahkan jika harus merogoh kocek sendiri, demi kemajuan olahraga paralayang di NTB.


Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Setibanya di Sumbawa Besar, gw bergabung dengan rekan-rekan yang lain yang sudah terlebih dahulu berangkat menggunakan pick up. Mereka membawa perlengkapan seperti tenda hingga parasut. Mereka berasal dari Sembalun, Taliwang, Sumbawa Besar, pokoknya mereka adalah rekan-rekan satu tim dari FASI Paralayang NTB. Di Sumbawa Besar gw nginap semalam dulu. Teman2 yang lain pada tidur di Hotel Garuda, fasilitas gratis yang nyaman karena pemiliknya salah satu anggota kami, Alhamdulillah, dan gw sendiri lebih memilih untuk pulang ke rumah dan bertemu emak dan bapak gw.

Keesokan harinya, 8 April 2015, usai packing2, kami yang berjumlah 12 orang melanjutkan perjalanan menuju Dompu menggunakan dua pick up. Mampir di Empang mengunjungi rumah salah satu anggota, alangkah bahagianya kami karena disuguhkan dengan Gulai dan Sate Domba, hasil gorokan sendiri teman yang satu ini, pencinta Batu Akik, Bang Ambul. Terima kasih Bang. Maaf kalo kita agak ngerepotin. Hehehe.

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Tidak berlama-lama di rumah Bang Ambul, perjalanan kami lanjutkan kembali. Kamipun tiba di perempatan paling terkenal di Dompu, Cabang Baggo tepat saat matahari sudah tidak nampak lagi. Cabang Banggo menjadi tempat yang cukup meriah saat tawa canda kami lepas sambil menikmati seduhan kopi hangat dari warung terdekat. Ah, sungguh cara melepas penat yang luar biasa. Perjalanan dari Mataram - Dompu jika ditempuh tanpa mampir disana-sini normalnya menghabiskan waktu sekitar 10 jam perjalanan.

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Rencana awal kami setelah sampai Cabang Banggo adalah mencari HardTop untuk mengantarkan kami ke Doro Ncanga, dan kemudian keesokan harinya bersama dengan HardTop tersebut menuju Puncak tertinggi Gunung Tambora. Tapi apa mau dikata, hardtop tersebut tidak bisa kami dapatkan. Full karena Tambora lagi ramai-ramainya. Berbagai upaya dengan mengontak sana dan sini tidak menghasilkan apa-apa. Akhirnya, malam itu kami tidak jadi ke Doro Ncanga, tidak jadi ke arah Barat. Kami menuju arah timur, menuju Dompu, bermalam disana dan memikirkan kembali rencana untuk esok hari sambil istirahat.

Ah, seandainya Dinas Pariwisata menepati janjinya, tentu semua ini tidak akan terjadi...

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Keesokan harinya, tanggal 09 April 2015, gw dan teman2 yang lain bertolak dari Dompu sebelum azan subuh berkumandang menuju Doro Ncanga. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih 3 jam. Akses jalan sudah hotmix, gak seperti sebelumnya gw melewati jalan ini, tanah berdebu dan batu lepas menjadi santapan ban mobil kami sepanjang perjalanan. Tiba di Doro Ncanga sekitar Pukul 07.00 pagi, kamipun mencari tempat perkemahan. Membangun tenda kemudian membuka warung kopi. Nah lo, jauh2 kok jualan kopi. Hehehe.

Beberapa tim yang lain masih mengupayakan hardtop untuk menuju Puncak Tambora. Planning kami sebelumnya adalah naik pagi itu juga, terbang layang dari Puncak Tambora menuju Pos 3. Tapi apa daya, hingga malam hari, kami tidak menemukan kendaraan besi tanpa atap tersebut. Alhasil, tim paralayang gagal terbang, hanya mampu melihat iri pada teman2 paramotor yang beberapa kali take off memutari Doro Ncanga. Disini kadang saya merasa, sumpah, sediiihhh banget :(

Sampai tanggal 10 April, rencana ke Puncak Tambora pun batal. Alhasil, gw dan teman2 gw yang lain cuman bisa ground handling doang. Meskipun matahari menyengat, aktivitas kami yang satu ini sukses menarik perhatian segenap pengunjung Doro Ncanga. Tak apalah, meskipun gagal terbang, menjadi pusat perhatian orang-orang lumayan bikin kegantengan nambah 50%.


Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Malam harinya kami pulang. Meskipun Jokowi datang besok, kami gak peduli. Satu tujuan kami yaitu terbang, menaklukkan Tambora, bukan melihat presiden!

Dan akhirnya, sebagai pelipur lara, sepulangnya dari Dompu, kami mampir di Pulau Kenawa, Sumbawa Barat. Terbang rendah di sana, menikmati ikan laut bakar, dan snorklingan sampai gosong. Ah, biarlah aku hitam, yang penting anakku putih. Anak? Lalu galau...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar